-->
yQRsgXYtnqhElJ0qG98ow6B0hsUDuvl7mVOesb9a
Hindari Konflik Horizontal, Polri Didesak Cepat Selesaikan Perkara Dugaan Penistaan Agama

Iklan Billboard 970x250

Iklan 728x90

Hindari Konflik Horizontal, Polri Didesak Cepat Selesaikan Perkara Dugaan Penistaan Agama



Penanganan kasus dugaan penistaan agama dianggap akan berpotensi menimbulkan konflik horizontal jika tidak diselesaikan secara cepat oleh aparat kepolisian.

Lembaga Bantuan Hukum Laksi (LBH LAKSI) menilai polemik penistaan agama merupakan peristiwa pidana murni dan tidak ada kaitan dengan politik. Karenanya, kasus penistaan agama yang telah menersangkakan Gubernur DKI Jakarta non aktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok harus diselesaikan sesuai tata cara hukum pidana.

"Kasus ini merupakan peristiwa pidana murni tidak terkait dengan perkara yang bersifat politis sehingga wajib diselesaikan berdasarkan prosedur hukum pidana yang berlaku," kata Dr Suhardi Somomoeljono,SH.,MH Ahli Hukum Pidana dan Provisional Chairman Komitte Kerja Advokat Indonesia (KKAI) dalam Forum Group Discusion (FGD) di Jakarta, Kamis (17/11).

Hadir dalam FGD ini antara lain Prof Dr Masyur Efendi,SH.,MH mantan Hakim Agung RI; Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Jayabaya Jakarta. Prof Dr Bambang Pranowo, Msc; Guru Besar Sosiologi Agama Islam di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Guru Besar Sosiologi Agama Islam di Universitas Matla’ul Anwar di Serang dan Dr Suhardi Somomoeljono,SH.,MH. Ahli Hukum Pidana dan juga Praktiisi Hukum di Jakarta, Provisional Chairman Komitte Kerja Advokat Indonesia (“KKAI”).

Menurut Suhardi, setelah penyidik Polri menetapkan Ahok tersangka maka seluruh warga wajib tunduk dan taat kepada hukum yang berlaku sebagai konsekwensi dari negara hukum. Proses hukum yang berlaku baik di tingkat Penyidikan kepolisian, Penuntutan kejaksaan, serta persidangan di pengadilan terhadap jalannya tahapan proses penegakan hukum (law enforcement) secara hukum masyarakat tidak diperkenankan melakukan tindakan yang bersifat menekan secara anarkis dengan melibatkan massa guna mempengaruhi penegak hukum dalam menjatuhkan suatu putusan.

"Pengerahan massa secara besar-besaran pasca ditetapkannya Ahok tersangka yang dilakukan oleh kelompok masyarakat baik muslim maupun non muslim dapat dipandang sebagai tindakan yang berlebihan yang dapat menimbulkan kesan negatif tidak mempercayai negara dalam menjalankan tugas dan fungsinya dalam menjalankan penegakan hukum," terang Suhardi.

Dilihat dari perspektif Sosialogi Agama, Bambang Pranowo berpandangan, dalam delik penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia secara sosiologi hukum dapat dikategorikan sebagai delik yang rawan sosial karena menyangkut dimensi keyakinan batin orang / kelompok terhadap agama yang dianutnya. Dan ini rawan terjadi konflik horizontal.

Tindak Pidana (strafbaar feit) baik yang bermuatan dalam kategori kejahatan (misdrijven), maupun yang berkategori pelanggaran (overtredingen) dalam pelaksanaannya memperhatikan salah satu dari fungsi hukum pidana yaitu pentingnya melakukan upaya preventif dan tidak perlu menunggu munculnya akibat.

Maka aparat penegak hukum idealnya langsung bekerja begitu ancaman terhadap kepentingan hukum yang hendak dilindungi muncul, misalnya dalam tindakan menghasut, penghujatan terhadap Tuhan.

"Masyarakat dan atau siapapun baik langsung / tidak langsung mengganggu jalannya proses peradilan maka dapat dikenakan sanksi pidana berdasarkan hukum yang berlaku," kata Bambang.

Sementara menurut Masyur Efendi penggiringan opini publik dalam suatu perkara yang sedang berproses di pengadilan dapat menghasilkan putusan pengadilan yang sesat dengan demikian proses hukum (law enforcement) harus benar-benar dijaga nilai-nilai independensinya. Hukum dalam pelaksanaannya (law in action) tidak dibenarkan dilakukan intervensi oleh siapapun sehingga hukum benar-benar mampu berdiri sebagai wasit yang adil itulah makna dari hukum sebagai panglima.

"Jika Penyidik Kepolisian menyimpulkan peristiwa pidana penistaan agama yang diduga dilakukan oleh “AHOK” dinyatakan tidak cukup bukti dan atau bukan merupakan tindak pidana sehingga penyidikan dihentikan (“SP-3”) maka pihak ketiga yang memiliki kepentingan dapat mengajukan gugatan Pra Peradilan di Pengadilan negeri setempat guna membatalkan SP-3 dimaksud," kata Mansyur.
SHARE

Related Posts

Subscribe to get free updates

Post a Comment

Iklan Tengah Post